Mahkluk
apa kau idealis? menancap di akal,
menohok nurani.
Seringkali
kau juga menjadi
pemicu perdebatan antara akal dan nurani. Tapi
di balik
itu kau menuntun ke sebuah jalan yang kebenaran yang kutempuh, walau kadang jalan itu tak
selaras dengan kemauan nafsu dan khalayak.
**
Beberapa penggal
renungan diatas mengawali tulisanku tentang “idealis”. Maklum sampai saat ini aku tak
pernah paham apa makna sesungguhnya dari idealis. Yang kutahu dari sebuah kata
“idealis” hanya
sebuah prinsip yang sesuai dengan kehendak hati nurani.
Secara terminologi idealis bisa diartikan sebuah cita-cita tinggi. Sedangkan idealisme adalah
aliran ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya
hal yg benar yg dapat dicamkan dan dipahami. Lawan idealis adalah realis. Sebuah tindakan, cara berpikir selalu berpegang atau
berdasarkan kenyataan.
Dalam
konteks sebagai mahasiswa yang menyandang gelar “agent of change” atau “agen of
control” tentunya menjadi idealis sudah selayaknya suatu keharusan, karena idealnya sebuah agen
perubahan harus berpijak pada suatu cita-cita yang mulia, dimana cita-cita itu
bukan hanya bertujuan untuk memuliakan satu individu, ataupun segelintir
golongan.
Dalam bangku
perkuliahan mahasiswa dipertemukan dengan dunia ide yang
disebut teori. Yang pastinya ide tersebut selalu berbicara hal yang “seharusnya”, bukan berbicara hal yang “senyatanya”. Atau dalam istilah hukum hal ini
sering disebut “das solen” (hal yang didambakan) dan “das sein” (hal yang
nyatanya terjadi). Mungkin ini yang membuat
rasa idealis mahasiswa semakin terbentuk, mematri dalam diri. Kemudian wajar
jika mahasiswa menjadi kritis dalam pemikiran, karena akan membandingkan segala
sesuatunya.
Lalu
bagaimana jika mahasiswa sudah tak mempunyai rasa idealis dalam dirinya?
Ini
yang menjadi problem suatu bangsa. Ketika agen perubahannya justru memilih
menjadi tikus dalam dapur. Yang mana lebih memilih menjadi sebuah hama pengerat
dan pencuri. Bukan menjadi penghuni
dapur yang membuat dan menjaga dapur agar tetap mengepul. Bagaimana
tidak? Sebuah regenerasi yang diharapkan menjadi agen perubahan tak menjalankan
fungsinya. Kegermelapan dan hingar – bingar hidup yang menjelma menjadi sebuah budaya
hedonisme telah menjadi godaan terbesar bagi generasi bangsa ini. Hingga
menjadi lupa dan tuli terhadap problem bangsa dan teriakan rakyat kecil yang tertindas.
Pernah
suatu ketika, seorang teman menceletuk “Ga usah
terlalu idealis, yang realistis aja.” Bukan bermaksud membenarkan, tapi seperrtinya celetukan
itu juga tak salah, mungkin temanku hanya mencoba
berbicara realita yang ada. Menjadi seorang mahasiswa yang idealis juga tak
menjamin seseorang akan terus mempertahankan rasa idealisnya sampai mati. Seringkali
rasa idealis putus saat mahasiswa meninggalkan dunia
kampus. Kebertolak belakangan antara teori dengan
realita membuat rasa idealis diri terkikis
kemudian lambat laun mengikuti arus. Buaian materi membuat seseorang bisa melakukan
apa saja, tak peduli melanggar hak atau menentang moral. Hingga
hal tersebut berkembang menjadi sebuah kelaziman di masyarakat.
Lalu
bagaimana wujud manusia idealis itu?
Tak
pernah ada definisi khusus tentang manusia idealis. Namun aku mempunya konsepsi
tersendiri tentang manusia ini. Bagiku manusia idealis bisa diartikan sebagai
manusia yang konsisten akan cita-citanya walau perjalannnya penuh rintang,
namun semangatnya tak pernah padam, keyakinan akan cita-citanya dapat membuat suatu
perubahan membuat ia semakin kuat. Sebagai contoh Pramodya Ananta Toer yang
terus melawan dengan tulisannya, walau ia harus dibuang, lalu dipenjara
bertahun-tahun. Juga seorang Wiji Thukul yang rela dikejar-kejar oleh rezim
penguasa, demi berjuang melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil.
Sudah saatnya para pemuda terutama mahasiswa
memikirkan hal ini. Sebagai kaum terpelajar merenungkan kembali tentang hakikat
sebagai mahasiswa sepertinya diperlukan. Perdebatan dalam diri memang tak bisa
dielakkan, keinginan keluarga atau orang lain yang berekspektasi lebih akan
sebuah pencapaian terkadang menjadi problem tersendiri. Namun jalan tetap harus
dipilih. Asal kita yakin jalan yang kita tempuh benar dan lebih bermanfaat untuk
kemslahatan bersama. Tentu itu merupakan hal yang lebih mulia ketimbang hanya
mementingkan kepentingan pribadi.