Kamis, 30 Mei 2013

Idealis dan Hakikat Mahasiswa



Mahkluk apa kau idealis? menancap di akal, menohok nurani. Seringkali kau juga menjadi pemicu perdebatan antara akal dan nurani. Tapi di balik itu kau menuntun ke sebuah jalan yang kebenaran yang kutempuh, walau kadang jalan itu tak selaras dengan kemauan nafsu dan khalayak.

**

Beberapa penggal renungan diatas mengawali tulisanku tentang “idealis”. Maklum sampai saat ini aku tak pernah paham apa makna sesungguhnya dari idealis. Yang kutahu dari sebuah kata “idealis” hanya sebuah prinsip yang sesuai dengan kehendak hati nurani.
 Secara terminologi idealis bisa diartikan sebuah cita-cita tinggi. Sedangkan idealisme adalah aliran ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yg benar yg dapat dicamkan dan dipahami. Lawan idealis adalah realis. Sebuah tindakan, cara berpikir selalu berpegang atau berdasarkan kenyataan.

Dalam konteks sebagai mahasiswa yang menyandang gelar “agent of change” atau “agen of control” tentunya menjadi idealis sudah selayaknya suatu  keharusan, karena idealnya sebuah agen perubahan harus berpijak pada suatu cita-cita yang mulia, dimana cita-cita itu bukan hanya bertujuan untuk memuliakan satu individu, ataupun segelintir golongan.

Dalam bangku perkuliahan mahasiswa dipertemukan dengan dunia ide yang disebut teori. Yang pastinya ide tersebut selalu berbicara hal yang “seharusnya”, bukan berbicara hal yang “senyatanya”. Atau dalam istilah hukum hal ini sering disebut “das solen” (hal yang didambakan) dan “das sein” (hal yang nyatanya terjadi). Mungkin ini yang membuat rasa idealis mahasiswa semakin terbentuk, mematri dalam diri. Kemudian wajar jika mahasiswa menjadi kritis dalam pemikiran, karena akan membandingkan segala sesuatunya.

Lalu bagaimana jika mahasiswa sudah tak mempunyai rasa idealis dalam dirinya?
Ini yang menjadi problem suatu bangsa. Ketika agen perubahannya justru memilih menjadi tikus dalam dapur. Yang mana lebih memilih menjadi sebuah hama pengerat dan pencuri. Bukan menjadi penghuni dapur yang membuat dan menjaga dapur agar tetap mengepul. Bagaimana tidak? Sebuah regenerasi yang diharapkan menjadi agen perubahan tak menjalankan fungsinya. Kegermelapan dan hingar – bingar hidup yang menjelma menjadi sebuah budaya hedonisme telah menjadi godaan terbesar bagi generasi bangsa ini. Hingga menjadi lupa dan tuli terhadap problem bangsa dan teriakan rakyat kecil yang tertindas.

Pernah suatu ketika, seorang teman menceletuk  “Ga usah terlalu idealis, yang realistis aja.” Bukan bermaksud membenarkan, tapi seperrtinya celetukan itu juga tak salah, mungkin temanku hanya mencoba berbicara realita yang ada. Menjadi seorang mahasiswa yang idealis juga tak menjamin seseorang akan terus mempertahankan rasa idealisnya sampai mati. Seringkali rasa idealis putus saat mahasiswa meninggalkan dunia kampus. Kebertolak belakangan antara teori dengan realita membuat rasa idealis diri terkikis kemudian lambat laun mengikuti arus. Buaian materi membuat seseorang bisa melakukan apa saja, tak peduli melanggar hak atau menentang moral. Hingga hal tersebut berkembang menjadi sebuah kelaziman di masyarakat.

            Lalu bagaimana wujud manusia idealis itu?

            Tak pernah ada definisi khusus tentang manusia idealis. Namun aku mempunya konsepsi tersendiri tentang manusia ini. Bagiku manusia idealis bisa diartikan sebagai manusia yang konsisten akan cita-citanya walau perjalannnya penuh rintang, namun semangatnya tak pernah padam, keyakinan akan cita-citanya dapat membuat suatu perubahan membuat ia semakin kuat. Sebagai contoh Pramodya Ananta Toer yang terus melawan dengan tulisannya, walau ia harus dibuang, lalu dipenjara bertahun-tahun. Juga seorang Wiji Thukul yang rela dikejar-kejar oleh rezim penguasa, demi berjuang melawan ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil. 

Sudah saatnya para pemuda terutama mahasiswa memikirkan hal ini. Sebagai kaum terpelajar merenungkan kembali tentang hakikat sebagai mahasiswa sepertinya diperlukan. Perdebatan dalam diri memang tak bisa dielakkan, keinginan keluarga atau orang lain yang berekspektasi lebih akan sebuah pencapaian terkadang menjadi problem tersendiri. Namun jalan tetap harus dipilih. Asal kita yakin jalan yang kita tempuh benar dan lebih bermanfaat untuk kemslahatan bersama. Tentu itu merupakan hal yang lebih mulia ketimbang hanya mementingkan kepentingan pribadi.
           




Minggu, 20 Januari 2013


Sebuah Pertaruhan antara Hati Nurani dengan Karier Politik


Oleh : Dimas Triambodo


Dunia politik memang tidak akan pernah lepas dari sisi gelapnya. Kotor, penuh intrik, dan juga kelicikan orang-orang yang bermain di dalamnya. Mungkin gambaran itulah yang ingin diungkapkan George Clooney lewat filmnya Ides Of March.
Kisah bermula dari Stephen Mayer (Ryan Gosling), seorang tim sukses calon presiden Amerika dari Partai Demokrat Mike Morris (George Clloeney). Stephen Mayer adalah seorang yang cerdas dalam menyusun strategi politik, karena kecerdasannya itulah ia direkrut menjadi tim sukses Mike Morris. Pada suatu ketika Tom Duffy (Paul Giammati) seorang manajer kampanye Pullman calon Presiden dari Partai republik menghubungi stephen dan mengajaknya bertemu. Lewat pertemuan itulah Tom Duffy membeberikan keinginannya agar Sthepen berhenti menjadi tim sukses Morris dan bergabung dengan kubunya. Karena Tom berkeyakinan akan mudah mengalahkan Morris jika Stephen bergabung dengannya. Namun Stephen menolak ajakan tersebut. Tom pun tak tinggal diam, ia punya rencana lain.
Kisah asmara pun juga turut mewarnai film ini. Di waktu yang sama Stephen sedang menjalin hubungan Molly, wanita berumur 20 tahun yang sedang magang di kantor tim sukses Mike Morris. Tapi saat hubungan mereka tengah berlangsung, Stephen mendapati kenyataan yang membuatnya merasa dikhianati. Ternyata Molly (Eva Rachel Wood) dan Mike Morris pernah terlibat dalam suatu hubungan gelap yang mengakibatkan wanita 20 tahun itu hamil dan harus mengaborsi kandungannya. Tidah hanya itu Polemik-pun muncul dalam diri Stephen saat ia mengetahui bahwa ia telah diberhentikan dari tim sukses Morris. Dilema datang, kini Stephen dihadapkan pada dua pilihan, yakni menjauh dari dunia politik atau tetap bertahan di dunia politik dengan rahasia besar yang ia ketahuinya.
Ryan Gosling tampil cukup menawan. Karakter yang diperankannya sangat cocok dengan gayanya yang selau dingin dan terkesan hati-hati dalam mengambil keputusan. Begitu juga George Clooney juga tak kalah apik dalam perannya. Maka tak heran Ides of March masuk dalam beberapa nominasi Golden Globe Awards ke-69, yaitu diantara masuk nominasi Best Motion Picture, dan juga beberapa pemerannya (George Clooney, Grant helsov, Beaur Willimon) masuk ke dalam nominasi Best Adapted Screenplay.
Melihat Ides of March, bukan tanpa memeras otak. Dari awal sampai akhir film ini seakan mengajak yang menontonnya untuk terus berfikir. Ceritanya yang sedikit rumit dicerna dan tidak adanya narasi, mungkin akan sedikit membuat bosan saat melihat film ini. Tapi bagi yang pencinta film drama, bisa jadi Ides of March adalah suguhan yang berbeda dan fresh, karena jika biasanya drama hanya bercerita tentang percintaan, kontras dengan film ini yang membalut drama dengan dunia politik.*

*Tulisan ini juga dimuat di website LPM Keadilan www.lpmkeadilan.com   / 6 Okt 2012 08.55

Tak “semanis” Jadah Tempe
Oleh : Dimas Triambodo

“Monggo mas, dicoba dulu. Manis kok.. ”ujar seorang perempuan, sembari menyodorkan sebuah jadah dan tempe beralaskan plastik. Lalu ia tersenyum hangat.Setelah mengucap terima kasih, dengan sigap kuterima jadah dan tempe tersebut. Perempuan itu bukan sedang berbaik hati berbagi makanan. Tapi ia sedang “merayu” agar saya mau membeli jajanannya.

Namanya Wanti, Umurnya 60 tahun. Ia adalah salah satu penjaja makanan di Telogo Putri, tempat wisata andalan di kawasan Kaliurang, Yogyakarta.Sore itu Jumat 11 Januari 2013, hujan sedang mengguyur Telogo Putri. Suasana nampak sepi. Pengunjung yang terlihat hanya segelitir orang. Sisanya adalah pedagang makanan dan para sales/sopir jip yang lalu lalang menembus hujan. Cuaca memang tak bersahabat kala itu. Hampir satu jam berlalu hujan tak jua berhenti.

Di sebuah petak terbuka beratapkan seng. Ia menggelar lapak dagangan bersama 2 penjaja jadah lain, yakni Menok dan Marfuah. Petak itu hanya berukuran 2 x 4 meter. Alhasil dalam berjualan Wanti terpaksa berhimpit - himpitan dengan kedua rekan sesama pedagang tersebut. Ia juga menuturkan, jika dulu atap petaknya sering bocor saat hujan. Pernah suatu kali ia melayangkan keluhan kepada pengelola, namun diabaikan. Sampai-sampai  ia harus memperbaikinya sendiri. “Kalo laporan ya paling jawabnya kapan-kapan mas..” kata Wanti dengan tawa kecil.

 Lokasi yang ia tempati juga tak gratis. Setiap bulannya ia wajib membayar 34 ribu. Tapi hal itu tak ditanggung sendiri, melainkan bersama Menok dan Marfuah. Bagi Wanti, Menok dan Marfuah, sudah seperti saudara. Hampir tiap hari bertemu saat berjualan dan kebetulan menjajakan makanan yang sama.

Anak pertama dari 10 bersaudara ini seorang diri saat berjualan. Ia tak ditemani oleh suami atau anaknya. Sang suami telah meninggal. Beberapa hari yang lalu adalah seribu hari sang suami.

“Bapak sebelumnya pernah kawin lagi” tutur Wanti dengan mata terlihat berkaca-kaca.  Itulah alasan mengapa ia harus menghidupi anaknya sendirian.

Anak lelaki satu-satunya telah menikah dan bekerja sebagai sales jip. Pekerjaannya adalah mencari penumpang yang mau berkeliling kawasan Kaliurang menggunakan mobil Jip. Anak lelakinya juga yang setiap hari mengantar – jemput Wanti saat berdagang.

Wanti bukan seorang pendatang. Ia mengaku asli warga Kaliurang. Jarak rumahnya tak sampai satu kilometerdari Telogo Putri. Sudah 15 tahun Wanti menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai Penjaja Jadah Tempe. Sebelumnya, pekerjaan Wanti hanyalahngarit (mencari rumput) untuk ternak sapinya. Namun karena sapinya telah dijual. Ia memilih berjualan Jadah Tempe.

 “Manisnjih Bu’. Pakai gula jawa ya ?” Selorohku

Injih mas. Manteb to?” ujar Wanti, sambil berkelakar.

Jadah Tempe Wanti memang seketika mengobati kerinduan akan rasa khas jadah. Karena pakai gula jawa, manis di Tempe bacem terasa alami, bukan rasa seribu manis. Jadah dan tempe ia buat sendiri. Ia berkata jika dirinya punya resep tersendiri warisan orang tuanya dalam membuat jadah tempe.

Wanti mengaku kebanyakan pembeli Jadah tempe adalah orang jawa, jarang sekali pembelinya adalah orang dari luar jawa. Menurutnya, hal itu karena orang luar jawa mungkin belum terbiasa makan makanan orang jawa. 

            Jajanan yang dijual Wanti tak hanya jadah dan tempe, tapi juga tahu, kerupuk, wajik. Jajanannya tak hanya dijual di Telogo Putri, tapi juga dirumah. Jika sedang musim liburan, dagangan miliknya bisa laku habis terjual karena ramainya pengunjung. Akan tetapi jika bukan musim liburan seperti saat ini, ia hanya bisa menjual beberapa kilo jadah. Walau begitu ia tetap bersyukur. Bagi dia asal sudah bisa memenuhi kebutuhan itu sudah cukup.

Obrolan belum berhenti, Hampir satu jam semenjak hujan turun sampai sudah reda. Saya masih duduk di samping Wanti. Ia sangat terbuka dengan kehadiran saya. Bahkan saya sempat menjadi objek promosi dagangnya.

 “Monggo mbak jadah tempenya, yang jualan mas disamping saya ini loo” teriak Wanti kepada sepasang muda-mudi yang sedang melintas didepan lapaknya.

Tak ayal muda-mudi itupun tertawa geli melihat kearah kami. Spontan muka saya pun memerah. Menok dan Maimunah juga tak bisa menahan gelak tawanya. Keduanya ikut-ikutan menertawai.

Melihat bukit yang rimbun dibelakang Lapak Wanti. Saya iseng bertanya.

“Apa tidak takut longsor bu? Ujar saya”

“Oh ndak mas, yang saya khawatirkan malah kalo ada gerombolan monyet yang turun dari bukit” ucapnya.

Salah satu daya tarik tempat wisata Telogo Putri adalah banyaknya monyet yang berkeliaran. Biasanya gerombolan monyet ini turun dari bukit guna mencari makan.Wanti punya cerita sendiri terhadap para gerombolan monyet tersebut. Salah satunya tentang dagangan Wanti yang sering diambil oleh gerombolan monyet. Hingga wanti memutuskan memberi sebungkus jadah kepada para monyet, saat mereka menyerbu lapak Wanti.Pedagang lain pun tak kalah sibuk saat para monyet turun. Pedagang lain juga terkena serbuan para monyet. Yang lucu kata Wanti, monyet tersebut saat mengambil minuman, tak mau cuman air putih, tapi milih yang berwarna.

Hari makin sore. Wanti tetap setia menunggu lapaknya. Percakapan tentang para monyet tadi telah menjadi penutup percakapan kami. Setelah membeli sebungkus Jadah Tempe, saya pergi meninggalkan Wanti.

            Walau manisnya Jadah Tempe buatannya tak “semanis” cerita hidupnya. Namun, Wanti adalah potretwanita tangguh di negeri ini.